Karya : Cerpen Pirngadi (Republika, 20 November 2011)
PEDIH, melihat wanita yang sangat
dicintainya terbujur kaku tak bernyawa. Pilu, menyaksikan perut sang
jenazah yang mulai kelihatan membuncit karena hamil. Lebih mengiris
hati, menyadari kenyataan calon jabang bayi di perut itu bukan dari
benihnya. Luka hati yang sangat perih dan kobaran amarah di tempurung
kepala Maman membuat laki-laki itu terpaku seperti patung batu.
Orang-orang terus mengalir berdatangan mengungkapkan dukacita,
menyampaikan penghiburan, atau sekadar hadir melihat. Rumah yang belum
sepenuhnya jadi karena dindingnya masih belum diplester semen itu pun
ramai dalam kedukaan.
Mata Maman kosong menatap jenazah istrinya, membawa
mundur kisah yang berakhir tragis ini. Maman masih ingat benar siang
pada akhir November empat tahun lalu. Saat di mana ia pulang dari
tempatnya bekerja dengan tubuh lemas tak berdaya. Perusahaan tempat
Maman bekerja bangkrut dan ia kena PHK. Bersama rasa panik yang
menggayut di benaknya, Maman pontang-panting menghidupi istri dan
seorang anaknya yang masih berumur dua tahun. Tiga bulan nihil tidak
dapat pekerjaan, sementara uang pesangon nyaris tak bersisa, Maman
akhirnya menyerah. Atas desakan Asih, istrinya, Maman angkat kaki dari
Jakarta, pulang kampung ke rumah mertuanya.
Pulang kampung dengan embel-embel karena gagal di rantau
membuat Maman seperti ditelanjangi di tempat ramai. Rasa malu itu
semakin sempurna setelah berbulan-bulan kemudian Maman belum mendapatkan
pekerjaan tetap. Ijazahnya yang hanya setingkat sekolah lanjutan
pertama serta pengalaman kerjanya sebagai office boy sama sekali tidak memberi pengaruh mendapatkan pekerjaan.
Sambil terus berusaha, Maman mencoba bersabar tinggal
menumpang di rumah mertuanya yang juga dihuni keluarga kakak iparnya.
Kadang-kadang, dari tatap matanya menyiratkan ketidaksukaan atau mungkin
penghinaan. Maman memang tidak punya pilihan. Kedua orang tuanya di
ujung timur Pulau Jawa sudah lama meninggal dunia. Tanah sepetak tempat
sebuah rumah reyot yang merupakan satu-satunya harta peninggalan orang
tuanya kini dihuni oleh keluarga adik semata wayangnya dengan kondisi
ekonomi tak lebih baik.
Malam itu menjadi malam yang paling panjang yang tidak
mungkin Maman lupakan. Dalam gelap, dada Maman basah oleh air mata Asih.
“Bukan aku tak menghargai kamu, tapi sampai saat ini, kamu belum dapat
kerja dengan penghasilan tetap. Kalau aku dan kamu mungkin bisa menahan
rasa lapar atau keinginan akan sesuatu, tapi tidak untuk anak kita. Aku
paling tidak tahan ketika ia menginginkan seperti yang dimakan atau
dimiliki kakak-kakak sepupunya. Sebagai ibunya, hatiku seperti
diiris-iris karena tidak dapat membelikannya, bahkan untuk sesuatu yang
harganya tidak mahal karena kita sama sekali tak punya uang. Aku hanya
ingin kita bisa keluar dari situasi sulit ini selagi kamu belum
mendapatkan jalan. Kalau kamu memberi izin, aku berniat berangkat ke
Timur Tengah….” isak Asih.
Tidak ada kata dalam kalimat Asih yang mampu
membangkitkan kemarahan. Tapi entahlah, Maman merasa ulu hatinya ngilu
seperti tertembus ribuan jarum. Asih sama sekali tidak menyalahkan
Maman. Bahkan, Asih minta izin seandainya Maman memberikannya. Pada saat
matanya berkaca-kaca, Maman hanya mampu membatin, Ya Allah, terima
kasih telah memberiku seorang istri sebaik ini….
Malam itu Maman memang tidak memberi jawaban secara
lisan, namun dari pelukan yang dipereratnya, Asih tahu suaminya
memberinya izin meskipun dengan berat hati. Rencana berangkat ke Arab
Saudi itu pun tidak dengan mudah terlaksana. Maman dan Asih harus
pontang-panting mencari pinjaman.
Ketidakberdayaan atau lebih tepatnya kemiskinan, sering
membawa orang untuk mengambil keputusan dan mengawali sesuatu dengan
linangan air mata. Itu pula yang terjadi pada Maman dan Asih. Asih
berangkat dengan berurai air mata. Maman melepas kepergian istrinya
dengan isi dada berkeping-keping. Ditinggal pergi istrinya sejauh itu
tidak pernah terbayangkan oleh Maman. Kemiskinan telah membuat orang
yang semestinya ia nafkahi dan lindungi harus membanting tulang di
negeri seberang yang kadang-kadang dengan taruhan kehormatan atau bahkan
nyawa.
Menjadi orang tua tunggal dan tinggal menumpang di rumah
mertua benar-benar menguji kesabaran Maman. Apalagi, pada minggu-minggu
awal kepergian Asih, Dini sering rewel ingat ibunya. Sebisa mungkin
Maman merawat dan menghidupi Dini. Menjadi kuli panggul di pasar,
menjadi kenek tukang batu, hingga tukang gali kuburan Maman lakoni demi
mengisi perut agar tidak kelaparan.
Memasuki bulan keenam sepucuk surat dari Asih diterima
Maman. Isinya singkat, namun cukup banyak menghalau kekhawatiran Maman.
Asih bekerja pada sebuah keluarga di Madinah. Selain memasak,
membersihkan rumah, mencuci, dan menyetrika, tugas Asih juga merawat
orang tua si empunya rumah yang sudah jompo. Pekerjaan yang terakhir ini
yang ditulis Asih paling berat karena berlangsung selama 24 jam.
Dua bulan kemudian, surat kedua datang. Kali ini diikuti
kiriman sejumlah uang. Setelah digunakan untuk membayar utang-utangnya,
Maman membeli sepeda motor bekas untuk mengojek. Sejak menjadi tukang
ojek di pasar, Maman memiliki penghasilan tetap. Maman memang tidak
ingin berpangku tangan menikmati uang kiriman istrinya dari Arab. Untuk
keperluan sehari-hari, Maman dan anaknya sudah bisa dicukupi dari hasil
mengojek.
Kiriman uang yang boleh dikatakan rutin dari Arab serta
didukung sikap hemat Maman, pada tahun kedua, berhasil membeli sepetak
tanah tidak jauh dari rumah mertuanya. Maman juga sudah memiliki handphone
sehingga Asih kadang-kadang menelepon langsung dari Arab. Setahun
kemudian, sebuah rumah berhasil Maman bangun meskipun belum selesai
benar. Beberapa bulan setelah menempati rumah baru, suatu malam, Asih
menelepon dan mengabarkan majikan jompo yang selama ini ia rawat telah
meninggal dunia. Asih juga menjelaskan kemungkinan besar ia berganti
majikan.
Sejak malam itu, komunikasi terputus. Tiga bulan
kemudian, Asih kembali menelepon dan mengatakan ia sekarang bekerja pada
sebuah keluarga polisi. Komunikasi kembali terputus, bahkan kiriman
uang pun berhenti. Maman kembali khawatir. Hampir setahun Maman
kehilangan jejak Asih hingga dua minggu lalu, handphone-nya
kembali berbunyi oleh nomor yang tidak dikenal. Ternyata suara Asih. Tak
seperti biasanya, kali ini suara Asih tertahan-tahan kebingungan.
Meskipun Asih mengatakan bahwa lusa akan pulang, kelegaan Maman berubah
menjadi rasa takut.
Ketidakjelasan pesawat yang ditumpangi Asih membuat
Maman, Dini, kedua mertua, serta kakak iparnya keleleran di bandara.
Dengan mobil sewaan, mereka sebenarnya sudah kuyu menempuh perjalanan
semalaman. Setelah dari pagi menunggu, baru sekitar pukul delapan malam,
Maman melihat Asih. Namun, tidak serta-merta Maman bisa menemui
istrinya.
Asih memeluk Maman dalam tangis yang sulit dipahami.
Gembira, sedih, atau takut. Sekilas Maman melihat tubuh istrinya sedikit
lebih gemuk dan…. Ah, Maman berusaha membuang jauh-jauh prasangka
buruknya. Sepanjang perjalanan pulang, seisi mobil itu pun lebih banyak
diam. Kegembiraan sebuah pertemuan setelah sekian tahun tidak bertemu
tiba-tiba menguap entah ke mana. Malam itu malam kedua setibanya Asih di
rumah. Saat itu, Dini sudah terlelap. Asih menangis dan berlutut
mencium kaki suaminya. Dengan suara bergetar Maman berkata, “Kamu
hamil?”
“Mengapa kamu tidak marah? Mengapa kamu tidak
memaki-maki aku? Mengapa kamu tidak memukuli aku? Aku istri yang bejat!
Kamu seharusnya menghajarku hingga babak belur! Kalau perlu, injak-injak
saja perutku ini hingga keluar semua kebusukan dan aib dari dalamnya.
Seharusnya aku tidak takut ketika dia mengancamku dengan pisau.
Seharusnya aku atau dia yang mati….” rintih Asih dengan tubuh
berguncang-guncang.
Asih menunggu makian, pukulan, atau tendangan suaminya,
namun apa yang diharapkannya itu tidak kunjung tiba. Asih justru
mendapati suaminya itu berjongkok dan mengangkatnya berdiri.
“Istighfar….” bisik Maman dengan suara tercekat.
Laki-laki itu kemudian bergegas membuka pintu dan duduk tepekur di teras
rumah hingga Subuh menjelang.
Setelah shalat Subuh, seperti biasanya Maman berangkat
mengojek. Dua hari Maman tidak berangkat bekerja karena kedatangan Asih.
Maman tidak berpamitan kepada Asih karena ia tidak tega membangunkan
istrinya yang masih terlelap memeluk Dini. Mungkin Asih semalaman juga
susah tidur atau bahkan kecapaian menangis.
Sekitar pukul 10 pagi, Maman menerima SMS dari Asih. Asih menulis, Maafkan ak tlh lakukn jln spt ni. Kmu trlalu baik ntuk trm smua aib ni. Aq titip Dini ya.
Tanpa berpikir panjang lagi, Maman bergegas pulang. Seorang ibu yang
akan diantarkan pulang dari pasar ditinggalkannya begitu saja. Ada
perasaan tidak enak yang tiba-tiba membuat Maman seperti mendapat
firasat buruk.
Tiba di rumah, Maman mendapati semua pintu dan jendela
terkunci. Maman sebenarnya sudah bisa membuka kunci pintu dengan anak
kunci yang dibawanya, namun daun pintu tidak bisa terkuak karena
sepertinya diselot dari dalam. Maman menggedor-gedor pintu sambil
memanggil-manggil istrinya. Seorang tetangga keluar rumah mendengar
suara ribut. Wanita setengah baya itu pun memberi laporan bahwa Asih
setengah jam yang lalu mengajak Dini keluar rumah. Bisa jadi menitipkan
Dini ke rumah kakek-neneknya karena sebentar kemudian Asih balik lagi
dan tidak keluar-keluar rumah lagi. Laporan tetangga itu semakin membuat
Maman khawatir. Maman pun mendobrak pintu rumahnya.
Ketika daun pintu berhasil dibuka, detik selanjutnya
tubuh Maman terhuyung lemas. Bukan karena kehilangan keseimbangan akibat
mendobrak pintu, melainkan karena melihat pemandangan yang terpampang
di depan mukanya. Tubuh Asih sedikit berayun-ayun, menggantung pada
seutas tali yang menjerat lehernya. Asih bunuh diri!
Maman menyeka air mata yang perlahan turun di pipinya.
Tidak digubrisnya saran atau suruhan orang-orang di sekitarnya untuk
menuntut pertanggungjawaban kepada orang-orang yang dianggap bersalah.
Ada yang menyuruhnya menuntut pada majikan Asih yang di Arab, ada yang
menyuruh Maman agar menuntut perusahaan pengerah tenaga kerja yang
memberangkatkan Asih, dan ada pula yang mendukung Maman agar menuntut
pemerintah karena tidak becus melindungi warganya sehingga diperlakukan
sewenang-wenang. Maman menghargai simpati kerabat dan tetangganya itu,
namun ia lebih memikirkan bagaimana caranya bisa memanfaatkan apa yang
ia punya untuk masa depan Dini daripada menggunakan uangnya untuk
mengurus hal-hal yang hasilnya pun belum pasti. Bukankah di negeri ini
segala sesuatunya membutuhkan uang? Bukankah sudah jamak pula di negeri
ini yang hitam jadi putih dan yang putih jadi hitam?
Maman terperenyak ketika pundaknya ditepuk perlahan oleh
seseorang. Seorang bapak yang menepuk pundak Maman itu berkata bahwa
jenazah Asih sebaiknya segera diberangkatkan. Maman mengangguk kuyu dan
berjalan tertatih mengantarkan jenazah istrinya ke pemakaman,
mengantarkannya pulang ke Sang Khalik. (*)
Penulis lahir di Pati, 27 Agustus 1967. Lulusan
Fakultas Sastra Indonesia, Universitas Diponegoro, Semarang, ini adalah
penulis naskah, editor, koordinator editor Penerbit Kelapa Cengkir Raya
(Intan Pariwara Group) di Jakarta, scriptwriter Radio Super FM dan
Kamajaya FM di Jakarta. Sejumlah karyanya pernah dimuat di sejumlah
surat kabar dan majalah remaja.
Sumber : Kumpulan Cerpen Koran Hari Minggu
Posting Komentar